Minggu, 22 Mei 2011

makalah tasawuf


TASAWUF PADA MASA BANI ABBASIYAH


MAKALAH


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tasawuf
Dosen pengampu : Prof. Dr. H. Abdul Hadi, MA



Disusun Oleh :

Nihayatus Shaumi         209130



 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH / EI
TAHUN 2011
BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Khalifah Abbasiyah ialah khalifah islam setelah khalifah Umayyah. Pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai pemerintahan masa revolusi islam karena keberhasilan dinasti Abbasiyah dalam memajukan peradaban islam. Masa Daulah Bani Abbasiyah disebut-sebut sebagai masa keemasan islam, atau dikenal dengan istilah ” The Golden Age”. Dikarenakan pada masa itu umat islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Dan juga berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah dengan banyaknya penerjemah buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Dengan mewarisi imperium besar bani Umayyah.
Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah. [1]

  1. RUMUSAN MASALAH
1.                                          Bagaimana Munculnya Dinasti Abbasiyah
2.                                          Bagaimana Sejarah Munculnya Tasawuf Pada Masa Bani Abbasiyah?









BAB II
PEMBAHASAN
  1. Munculnya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah  berkuasa selama kurang lebih enam abad ( 132 – 656 H/ 750-1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Bani Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M, Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.
Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah.
Dalam beberapa hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Daulah Umayah. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umayah, misalnya, para bangsawan Daulah Abbasiyah cenderung hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka gemar memelihara budak belian serta istri peliharaan (harem). Kehidupan lebih cenderung pada kehidupan duniawi ketimbang mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Namun tidak dapat disangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana maupun perebutan kekuasaan secara internal.[2]
Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti pada masa Daulah Umayah. Orientasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda lainnya antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah yang lebih mementingkan perluasan daerah. Akibat kebijakan yang diambil ini, provinsi-provinsi terpencil di pinggiran mulai terlepas dari genggaman mereka.
Ada dua kecenderungan yang terjadi. Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan yang berhasil menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayah di Andalusia (Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Marokko. Cara kedua, yaitu ketika orang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah manjadi sangat kuat, seperti Daulah Aglabiah (Bani Taglib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.
Pada zaman Al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian berlipat ganda dibanding sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke timur dan ke barat dipergiat. Kota Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang serba lengkap.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun Al-Rasyid. Masa itu berlangsung sampai dengan masa Al-Makmun. Al-Makmun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani.
Kecenderungan orang-orang muslim secara sukarela sebagai anggota milisi mengikuti perjalanan perang sudah tidak lagi terdengar. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang profesional. Militer Daulah Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Akibatnya, tentara itu menjadi sangat dominan sehingga Khalifah berikutnya sangat dipengaruhi atau menjadi boneka mereka.
Sebagai respon dari kenyataan tersebut Khalifah Al-Wasiq (842-847 M) mencoba melepaskan diri dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibukota ke Samarra, tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi tentara Turki.
Salah satu faktor penting yang merupakan penyebab Daulah Abbasiyah pada periode pertama ini berhasil mencapai masa keemasan ialah terjadinya asimilasi dalam Daulah Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur non Arab, terutama bangsa Persia, dalam pembinaan peradaban Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Makmun.
Pada masa itu perpustakaan-perpustakaan tampaknya lebih menyerupai sebuah universitas ketimbang sebuah taman bacaan. Orang-orang datang ke perpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai pusat penerjemahan. Tercatat kegiatan yang paling menonjol adalah terhadap buku-buku kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi dan ilmu alam. Di masa-masa berikutnya para ilmuwan Islam bahkan mampu mengembangkan dan melakukan inovasi dan penemuan sendiri. Di sinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban dunia.[3]
Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Di antara faktor-faktor intern adalah, pertama, adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki. Kedua, terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. Keempat, terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik.[4]
Dengan kematian Al-Muktasim khalifah terakhir pada masa bani abbasiya, lenyaplah Daulah Abbasiyah dari bumi ini, berkubur dalam bumi kota Baghdad yang telah hangus di bawah runtuhan gedung-gedung dan istana.

  1. Sejarah Munculnya Tasawuf Pada Masa Bani Abbasiyah
Abad X masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah dimana dunia islam, mulai dari Cordon di Spayol sampai ke Multan di Pakistan, mengalami pembangunan disegala bidang, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Salah satunya perkembangan ilmu pada masa Abbasiyah adalah ilmu tasawuf.[5]
Ilmu tasawuf adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada zaman abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta bersunyi diri untuk beribadah.
Secara umum tasawwuf dipandang sebagai falsafah kehidupan. Ia juga merupakan cara yang meyakinkan dalam menjalani usaha-usaha penyempurnaan akhlak, ketundukan dan untuk mendapatkan kebahagiaan jiwa.
Pada masa Abbasiyah telah hadir Dzu al-Nun Al-Mishri,[6] ia dilahirkan di Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku ahli hadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan dengan duniawi, sebuah kritikan yang membuat para Ahlu al-Hadist kebakaran jenggot dan mulai menyebut al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu al-hadist membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan dikenal dalam lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya, al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luas oleh para peneliti tasawuf. Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang sufi. Ia meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir. Setelah Al-Misri, datang seorang sufi bernama Surri al-Saqathi pada 253 H, ia mengenalkan uzlah-uzlah yang sebelumnya hanya dikenal sebagai tindakan menyendiri secara personal, dikembangkan al-Saqathi menjadi “uzlah kolektif”, uzlah yang ditujukan untuk menghindari kehidupan duniawi yang melenakan ataupun kehidupan duniawi yang penuh degan pertentangan, intrik dan pertumpahan darah. Pada masa-masa diatas telah mulai dikenal istilah sufi di beberapa kalangan, sebuah sebutan bagi mereka yang menghindari secara ketat terhadap kesenangan duniawi dan memilih untuk memfokuskan diri pada perkara uhkrawi (kelak konsep uzlah inilah yang banyak dianut oleh tasawuf sunni dikemudian hari).
Abu Yazid al-Bustami pada 260 H/873 M,[7] seorang sufi Persia yang mulai mengenalkan konsep ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan, penyatuan tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’ dalam dicinta, bersatu dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. wajar jika al-Bistami dianggap oleh Nicholson sebagai pendiri tasawuf dengan ide orisinil tentang wahdatul wujud di timur sebagaimana theosofi yang meruapakan kekhasan pemikiran Yunani. Pengaruh Abu Yazid saat itu sangat luas bukan hanya di dunia muslim tapi menembus hingga batas-batas agama. Tapi tentu ungkapan-ungkapan al-Bistami telah menghadirkan pertentangan dengan Ulama’ Hadis, mereka mengcam pandangan-pandangan pantheisme al-Bistami yang di anggap sesat. Pasca Al-Bishtami, Al- Junaidi pada 297 H/909 M hadir dengan coba mengkompromikan tasawuf dengan syariat, hal ini ia lakukan setelah melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlu al-hadis di masanya, lagi pula al-Junaid juga mempunyai basik sebagai seorang ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaum yang sesat. Dan rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandang kalangan ortodoksi terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277 H) yang juga menelurkan karya – karya kompromistik antara ortodoksi islam dan tasawuf.







BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Khalifah Abbasiyah ialah khalifah Islam setelah khalifah Umayyah.
Dinasti Abbasiyah  berkuasa selama kurang lebih enam abad ( 132 – 656 H/ 750-1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti pada masa Daulah Umayah.
Abad X masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah dimana dunia islam, mengalami pembangunan disegala bidang, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Salah satunya perkembangan ilmu pada masa Abbasiyah adalah ilmu tasawuf
Ilmu tasawuf adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada zaman abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta bersunyi diri untuk beribadah.
Secara umum tasawwuf dipandang sebagai falsafah kehidupan. Ia juga merupakan cara yang meyakinkan dalam menjalani usaha-usaha penyempurnaan akhlak, ketundukan dan untuk mendapatkan kebahagiaan jiwa.

  1. Saran
            Demikianlah makalah ini kami ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah tasawuf, dengan demikian kritk dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin….
DAFTAR PUSTAKA
Abu Su’ud, Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003
Musyrifah Sunanto, sejarah islam klasik, Jakarta: kencana, 1991
Misbah, Ma’ruf dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang, CV. Wicaksana, 1996.


[1]              Abu Su’ud, Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003, h. 72
[2]               Abu Su’ud, op.cit.,  h. 73
[3]              Ibid, h. 75-78
[4]              Ma’ruf Misbah dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang: CV.    Wicaksana, h. 61
[5]               Musyrifah Sunanto, sejarah islam klasik, Jakarta: kencana, 1991. hal 54
[6]               Abu Su’ud,  h. 75-78
[7]               http: //blogspot.com/2010/01/dinasti abbasiyah.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar