Minggu, 22 Mei 2011

makalah filsafat

FILSAFAT MORAL
(ETIKA)

  1. PENDAHULUAN
Dewasa ini istilah filsafat moral itu jarang di pakai, namun hanya dipakai untuk mengacu pada cabang filsafatnya saja. Yaitu cabang filsafat yang berkenaan dengan pembangunan fondasi rasional bagi tindakan – tindakan moral, kini sering disebut sebagai “Etika”.
Etika merupakan suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi norma dan nilai – nilai yang dapat diginakan dalam kehidupan sehari – hari. Titik berat penilaian etika ialah perbuatan baik dan jelek, susiala atau tidak susila. Dalam makalah ini kami akan memaparkan sedikit banyak tentang filsafat moral atau juga yang biasa disebut dengan etika dan pendapat – pendapat para ilmuan mengenai etika itu sendiri.
 
  1. RUMUSAN MASALAH
Dari sedikit uraian yang ada dalam pendahuluan makalah ini kami telah merumuskan permasalahannya. Adapuan permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dari istilah moral atau etika?
2.      Bagaimana teori akhlaq atau etika menurut Ibnu Bajah?
3.      Bagaimana pernyataan Immanuel Karnt mengenai etika?








  1. PEMBAHASAN
1.      Pengertian Moral atau Etika
Kata moral berasal dari kata latin “mores”. Mores berasal dari kata “mos” yang berarti kesusilaan, tabiat,atau kelakuan. Jadi moral dapat diartikan sebagai ajaran kesusilaan. Sedangkan moralitas berarti hal mengenai kesusilaan.
Ada perkataan lain yang mengungkapkan bahwa moral itu sama dengan etika. Etika besasal dari bahasa yunani yaitu ethos dan ethikos yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia dari W.J.S Poerwadarminto menerangkan bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk berbuatan dan kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan asas – asas akhlaq.[1]
Dari beberapa kerterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, memuat ajaran tentang baik buruknya perbuatan. Jadi perbuatan dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Penilaian itu menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Memberikan penilaian atas perbuatan disebut memberikan penilaian etis atau moral.
Etika dalam arti sebenarnya adalah “kebiasaan” yaitu apa yang disebutkan baik. Itu ialah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (zaman itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah seperti pengertian sekarang. Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkh laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.[2] Yang dapat dinilai baik buruknya adalah “sikap manusia” yaitu menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan dan kata –kata. Adapun motif, watak, suara hati, sulit untuk dinilai. Tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar itu tidak dapat dinilai baik buruknya.
Etika dapat dibagi menjadi : etika diskriptif dan etika normatif. Etika diskriptif hanta menggambarkan, melukiskan, menceritakan apa adanya. Tidak memberikan penilaian baik buruk dan tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Adapun etika normatif sudah memberikan penilaian baik buruk mana yang harus dikerjakan dan mana yang tidak. Etika normatif dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etuika umum memberikan prinsip – prinsip umum, seperti : apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati dan sebagainya. Sedangkan etika khusus adalah pelaksanaan dari prinsip – prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan.[3]
Pembagian etika yang lain ialah etika individual dan etika sosial. Etika individual membicarakan tingkah laku manusia sebagai individu, misalnya tujuan hidup manusia. Sedangkan etika sosial membicarakan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan orang lain, misalnya : baik buruk dalam keluarga, masyarakat dan Negara.[4]
Hubungan etika dengan moral adalah :
a)      Etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral bersifat praktek.
b)      Etika membicarakan bagaimana seharusnya,dan moral menjelaskan bagaimana adanya.
c)      Etika menyelidiki, memikirkan, dan mempertimbangkan tentang yang baik dan buruk, moral menyatakan ukuran yang baik tentang tindakan manusia dalam kesatuan sosial tertentu.
d)      Etika memandang tingkah laku, perbuatan manusia secara universal, moral secara tempatan.
e)      Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu. Moral sesungguhnya dibentuk oleh etika atau buah dari etika.[5]
Etika itu bukan sebuah ajaran, tetapi sebuah ilmu. Jadi etika dan ajaran – ajaran moral tidak berada dalam tingkat yang sama. Yang menyatakan bagaimana kita harus hidup. Bukan etika melainkan ajaran moral.[6]
Metode yang digunakan dalam beretika adalah metode pendekatan kritis, karena etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis, mengajarkan norma – norma, nilai – nilai moral, mengemukakan pendapat moral untuk dipertanggung jawabkan dan berusaha menjernihkan permasalahan moral.[7] 

2.      Teori Etika menurut Ibnu Bajjah
Filosof islam Ibnu Bajjah khusus menumpahkan perhatiannya kepada masalah etika atau akhlaq. Dibaginya tingkah laku perbuatan manusia dalam dua kategori yaitu:
1)      Laku perbuatan yang lahir dari motif naluri dan segala yang berhubungan dengn itu, ini bisa disebur laku perbuatan hewani.
2)      Laku perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinngi. Ini biasanya disebut laku perbuatan manusia.[8] Seperti : makan dan minum untuk menjaga kekuatan atau kehidupan.
Pangkal perbuatan kedua jenis laku perbuatan tidak terletak pada laku perbuatan itu sendiri, melainkan pada motifnya. Dikemukakan misal untuk melukiskan perbedaan kedua macam motif. Seseorang kakinya terbentur batu yang menyebabkan luka, diambilnya batu itu lalu dilemparkannya. Kalau motif pelemparan itu karena barang itu telah melukainya adalah tindakan hewani, yang didorong oleh naluri kehewanan, yang mengendalikannya untuk memusnahkan tiap sesuatu yang mengganggu. Tetapi kalau motifnya supaya orang lain tidak mendapat cidera pula dari batu itu (bukan karena kepentingan diri sendiri) atau pelemparan itu tidak bertaut dengan kemarahannya, maka itu adalah tindakan manusia. Hanya jenis tindakan manusialah yang dapat dinilai dari lapangan akhlaq. Tindakan yang bernilai dan berhak untuk dibicarakan ialah tindakan yang berlangsung dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata – mata dan tidak ada hubungannya dengan segihewani pada manusia.
Penindakan segi hewani pada diri, harus dimulai dengan melaksanakan segi kemanusian. Maka segi hewani itu akan tunduk pada ketinggian segi kemanusiaan. Seseorang menjadi lebih baik, manakala akalnya dapat menundukkan nalurinya.[9]
Untuk menyatakan apakah suatu tindakan itu bersifat hewani atau manusiawi, perlu memiliki spekulasi disamping kemauan. Dengan memperhatikan sifat kemauan dan spekulasi, Ibnu Bajjah membagi kebijaka menjadi dua yaitu :
1)      Kebijakan formal
Merupakan pembawaan sejak lahir tanpa pengaruh kemauan atau spekulasi, seperti kejujuran seekor anjing, sebab mustahil bagi seekor anjing untuk tidak jujur. Kebajikan itu tidak bernilai pada manusia.
2)      Kebijakan spekulatif
Didasarkan pada kemauan babas dan spekulasi. Tindakan yang dilakukan demi kebenaran dan bukan untuk memenuhi keinginan alamiah yang disebut tindakan ketuhanan, bukan manusiawi, sebab hal ini jarang terdapat pada manusia.
Yang baik menurut Ibnu Bajjah, merupakan eksistensi, dan yang jahat merupakan ketiadaan. Dengan kata lain yang jahat baginya benar – benar tidak jahat.[10]
3.      Etika menurut Immanuel Kant
Kant dalam ajarnnya etikanya tidak berpangkal pada laku. Perbuatan atau hasilnya, namun pada kemauan. Apabila kita melakukan sesuatu, satu – satunya yang baik adalah kemauan yang baik. Jadi ia menilai kebaikan itu tidak pada laku perbuatan atau hasilnya, tetapi pada kemauan.[11]
Jadi kemauan baik (good will) yang dimaksud Kant adalah :
1)      Kemauan baik itu, hendaknya dilandasi oleh kebijakan dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup.
2)      Kemauan baik itu, merupakan satu kesatuan yang baik, meskipun ia berdiri sendiri. Kosekuensi dari suatu perbuatan yang baik adalah hasilnya juga menuju kepada hasil yang baik.[12]

makalah metodologi studi islam

BAB 1
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
“Desa mawa cara, Negara mawa tata”, demikianlah kutipan Kuntowijoyo ketika mencoba mengilustrasikan dualisme kebudayaan Indonesia di masa lalu.[1] Selalu saja ada dua subsistem dalam menterjemahkan tradisi lokal yang melekat dalam masyarakat, yaitu budaya rakyat dan budaya penguasa (kraton). Wariasn budaya Sunan Kudus berikut akan lebih berspektif budaya rakyat dan dan masih dilestarikan oleh masyarakat Kudus hingga sekarang, meskipun sering terjadi tarik – menarik dan pantang – menantang diantara keduanya. Karena itu tradisi yang berakar dari Sunan Kudus ternyata dalam perkembangannya mengalami reproduksi dan resistensi baik dalam bentuk adat, seni, maupun budayanya. Darinya kita juga bisa menemukan nilai – nilai moral yang bisa dijadikan sebagai penopang dalam membangun karakter bangsa.   

  1. Rumusan Masalah
1.      Biografi Kota Kudus
2.      Tradisi Buka Luwur
3.      Tradisi Tidak Menyembelih Sapi
4.      Tradisi Perkabungan
5.      Tradisi Tari – Tarian
6.      Tradisi Dhandangan









BAB II
PEMBAHASAN
  1. Biogarafi kota kudus
Secara geografis kota Kudus terletak di pantai utara timur Jawa Tengah diantara Semarang dan Surabaya. Kudus terbagi atas lima wilayah yaitu Kudus utara, selatan, timur, barat dan pusat. Sebagian beasar wilayah Kudus adalah daratan rendahdan di wilayah utaranya terdapat pegunungan.kota yang berulang tahun setiap tanggal 23 september ini terkenal sebagai kota wali. Hal ini karena sejarah kota Kudus terkait dengan dua tokoh wali Islam di Indonesia yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria yang dulunya menyebarkan Islam di kota Kudus.
Menurut sejarahnya, asal – usul nama Kudus diambil dari pengalaman seorang ulama’ besar yaitu Dja’far Sodiq, yang pernah beribadah Haji sambil mengajar di tanah Arab. Ceritanya, ketika Dja'far Sodiq sedang mengajar di Arab terjadilah sebuah wabah penyakit yang berbahaya. Wabah tersebut kemudian dapat diredakan oleh Dja'far Sodiq. Berkat jasanya ini Dja'far diberi  hadiah batu yang berasal dari Kota Baitul Makdis atau Al-Quds. Batu itu kemudian dibawa pulang dan kota tempat Dja'far Sodiq tinggal dinamakan Kudus. Dja'far kemudian terkenal dengan nama Sunan Kudus.[2]
Selain terkenal sebagai kota Wali, Kudus juga disebut-sebut sebagai kota Santri. Ini berkaitan dengan Kudus yang menjadi pusat penyebaran Islam di Indonesia pada abad ke pertengahan. Tentu saja penyebaran agama islam ini dilakukan oleh dua dari sembilan Wali Nusantara yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria. Sunan Kudus terkenal sebagai salah seorang ulama besar yang menyebarkan Islam di Kudus. Beliau terutama ahli dalam ilmu Tauhid, Usul, Hadits, Sastra Mantiq, dan Ilmu Fiqih. Sedangkan Sunan Muria terkenal lebih suka mendidik rakyat jelata, para pedagang, nelayan, dan pelaut. Beliau juga memasukan ajaran-ajaran Islam kedalam pertunjukan seni gamelan Jawa. Kota Kudus juga memiliki beragam potensi pariwisata. Salah satunya panorama alam yang menawan, ada juga Masjid Kudus yang juga menjadi objek wisata potensial. Masjid ini dibangun pada abad ke 16 dengan gaya arsitektur campuran Jawa dan Hindu. Mulanya masjid ini diberi nama Masjid Al-Aqsa oleh Sunan Kudus. Menurut cerita sepulang Sunan Kudus berkunjung ke Masjid Al-Aqsa di Palestina, beliau membawa batu yang kemudian dijadikan batu pertama pada pendirian Masjid. Namun dalam perkembangannya, Masjid Al-Aqsa di Kudus lebih terkenal dengan nama Masjid Kudus.
 Gaya arsitektur Masjid Kudus sangat unik karena merupakan perpaduan antara budaya Jawa dan Hindu. Pada Masjid Kudus terdapat bangunan monumental berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit dan makam dari Sunan Kudus. Selain karena ukurannya sangat besar, keunikan arsitekturnya membuatnya sangat spesial dan tidak dimiliki oleh masjid manapun di dunia. Masjid Kudus berada di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Jaraknya hanya 1,5 km dari pusat kota.

  1. Tradisi Buka Luwur
Buka luwur adalah bahasa jawa yang berarti buka adalah membuka, sementara luwur adalah kain klambu pembungkus makam Kanjeng Sunan Kudus. Tradisi buka luwur memang tak lepas dari sebuah ritual prosesi pergantian selambu pembungkus makam Kanjeng Sunan Kudus yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram atau syuro.
Subtansi tradisi buka luwur adalah houl, peringatan wafatnya seorang ulama’ atau wali tertentu. Namun wafatnya Sunan Kudus tidak bisa  ketahui secara pasti, maka tradisi tersebut disebut tardisi buka luwur. Agenda utamanya adalah penggantian klambu makam Sunan Kudus, sedangkan prosesinya sebagaimana ritual houl, yang diawali dengan khataman Al – Qur’an, pengajian umum, pembacaan tahlil dan do’a serta diakhiri dengan bancaan.[3] Masyarakat datang berbondong-bondong dengan berbagai maksud dan tujuan. Ada yang ingin mendapatkan sobekan kain untuk jimat atau ada pula yang mengharap mendapatkan sebungkus nasi dimana nantinya nasi tersebut dikeringkan, kemudian ditaburkan dipersawahan agar tanamannya menjadi subur, tahan hama wereng dan sebagainya



  1. Tradisi tidak Menyembelih Sapi
Tidak diperbolehkannya masyarakat Kudus untuk menyembelih sapi. Merupakan larangan ini mengandung arti rasa saling menghormati sesama orang yang beragama, dalam hal ini agama Hindu, dimana pada waktu sebelum Islam datang telah dipeluk oleh masyarakat Kudus. Sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama hindu. Pernah pada suatu ketika Sunan Kudus mengikat seekor sapi dihalaman masjid dengan maksud untuk menarik perhatian para pemeluk agama hindu supaya mereka itu datang ke masjid. Setelah orang-orang itu berkumpul, maka Sunan Kudus mengucapkan salam bahagia dan selamat datang untuk kemudian berceramah, berdakwah dan saling berdialog secara langsung. Sebenarnya yang penting dari hal ini adalah rasa saling menghormati, tidak menyinggung perasaan dan kepercayaan hidup orang lain. Meskipun begitu jika diantara masyarakat Kudus ada yang menghendaki menyembelih sapi, itu tidak apa-apa, tidak dilarang, tidak berdosa dan tidak membahayakan bagi pelakunya.
  1. Tradisi Perkabungan
Bentuk tradisi yang masih kental hingga sekarang adalah tradisi perkabungan (nyedekahi) pada hari ke-3, 7, 40, 100 dan 1000. Hal ini bermula dari kebiasaan masyarakat Hindu, dimana jika ada kematian selalu diadakan sesajen, membakar kemenyan serta dibacakan mantra-mantra. Tradisi semacam ini tidak dilenyapkan begitu saja, tetapi tetap dibiarkan dan dimasuki unsur-unsur keIslaman. Makanan yang sebetulnya untuk sesajen dibawa pulang (jawa : diberkat) oleh orang-orang yang hadir. Sedangkan mantra-mantra yang dibaca diganti dengan membaca tahlil oleh segenap yang hadir. Tradisi perkabungan dengan sesajen-sesajen itu dapat disesuaikan dengan ajaran shodaqoh dalam ajaran Islam. Hanya saja niatnya yang harus dirubah.
  1. Tradisi Tari – Tarian
Kudus memiliki beragam tarian tradisional yang tidak hanya indah dalam gerakan namun juga indah dalam makna. Contohnya saja tari Kretek. Tari yang menggambarkan pembuatan kretek tradisional ini sarat akan nilai filosofis. Para penarinya mengenakan kebaya anggun dengan selendang bergaris hitam dan topi lebar yang artinya kesejahteraan warga kudus. Ada juga Tari Terbang Papat yaitu tari yang melambangkan kebahagiaan muda mudi, dan Tari Cendono Cendani yang berkisah tentang asmara si kembar Cendono dan Cendani.

  1. Tradisi Dhandangan
1.      Asal - usul Tradisi Dhandangan
Setiap kali menjelang bulan Rahmadhan, umat Islam di Kudus dan sekitarnya menyambut suka dan cita. Maka momentum kehadiran bulan Rahmadhan menjadi sesuatu yang istimewa. Bahkan penanda masuknya bulan Rahmadhan ini menjadi tradisi penting bagi umat Islam di Kudus yang kehadirannya tak lepas dari Sunan Kudus. Tradisi tersebut popular dimasyarakat dikenal dengan Dhandangan, sedangkan penyetusnya adalah Kanjeng Sunan Kudus.[4]
Tradisi itu bermula mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid Menara Kudus mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa. Pengumuman itu diawali dengan pemukulan beduk yang berbunyi dhang-dhang-dhang. Bunyi beduk itulah yang memunculkan kata dhandangan, sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradisi dhandangan.
2.      Gus – Ji – Gang dalam Tradisi Dhandangan
Salah satu  fenomena budaya bagi masyarakat Kudus Kulon dalam tradisi dhandangan terutama pada puluhan tahun yang lalu adalah menjadikan momentum ini sebagai ajang silaturrahmi antar sanak saudara. Bahkan tak jarang momentum ini menjadi media ta’aruf agar orang tua t\yang memiliki anak putrisegera menemukan jodohnya, pemuda ideal.
Bagi masyarakat Kudus terutama di lingkungan Kudus Kulon harus memiliki minimal tiga karakter yang popular dalam akronim “Gus-Ji-Gang” (bagus akhlaknya, pinter ngaji, dan trampil berdagang).
Pertama, “Gus” bermakna bagus atau cakep.kecakepan ini tak sekedar secara fisik tetapi juga cakep secara kepribadiannya. Aspek moral sangat di tonjolkan oleh masyarakat Kudus. Dalam kaitan ini biasanya dengan memperhatikan nasab, pendidikan, dan pergaulannya.
Kedua, “Ji” pintar mengaji atau lebih popular dengan sebutan santri.hal ini jadi prioritas penting karena karakter santri ini sebagai dasar bagi calon pemimpin rumah tangga yang berorientasi ketaatan pada syari’at Islam. Dalam posisi inilah santri yang pinter mengaji menjadi incaran para gadis atau orang tua yang memiliki anak gadis yang siap dinikahkan.
Ketiga, “Gang” lincah berdagang. Belum lengkap rasanya menjadi warga Kudus terutama Kudus Kulon, kalau tidak mampu berdagang. Kemampuan berdagang ini ditinjolakan karena tak lepas dari pilihan mata pencaharian yang lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang. Karena spirit dasarnya didasari dengan nilai – nilai Islam maka profesi dagang yang diinginkan adalah pedagang yang jujur, sebagaimana Sunan Kudus dan Nabi Muhammad SAW juga seorang wali saudagar.   
3.      Pergeseran Tradisi Dhandangan
Namun sesuai dengan perkembangan zaman, tradisi dhandangan sekarang ini tak lagi sekedar untuk mendengarkan pengumuman awal rahmadhan oleh sesepuh masjid yang dihadiri banyak santri diseputar Masjid Menara Kudus. Namun mulai “disusupi” pedagang yang menawarkan berbagai kebutuhan bahan pokok sehari – hari. Kondisi tersebut berlanjut hingga kini. Bahkan pedagang sudah bersiap sejak beberapa hari sebelum awal puasa. Suasana semakin ramai oleh munculnya aneka permainan anak – anak dan banyaknya pedagang sandang dan pangan dari berbagai kota. Bahkan, kini tradisi dhandangan cenderung sekedar menjadi ajang bisnis dan promosi sehingga mengurangi nilai – nilai budaya yang sebelumnya sangat kental.











BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Secara geografis kota Kudus terletak di pantai utara timur Jawa Tengah diantara Semarang dan Surabaya. Kudus terbagi atas lima wilayah yaitu Kudus utara, selatan, timur, barat dan pusat. Ada beberapa tradisi di Kudus antara lain:
Tradisi Buka Luwur adalah bahasa jawa yang berarti buka adalah membuka, sementara luwur adalah kain klambu pembungkus makam Kanjeng Sunan Kudus.
Tradisi Tidak Menyembelih Sapi Merupakan larangan ini mengandung arti rasa saling menghormati sesama orang yang beragama, dalam hal ini agama Hindu, dimana pada waktu sebelum Islam datang telah dipeluk oleh masyarakat Kudus
Tradisi Perkabungan dimana jika ada kematian selalu diadakan sesajen, membakar kemenyan serta dibacakan mantra-mantra. Tradisi semacam ini tidak dilenyapkan begitu saja, tetapi tetap dibiarkan dan dimasuki unsur-unsur keIslaman.
Tradisi Tari – Tarian Kudus memiliki beragam tarian tradisional yang tidak hanya indah dalam gerakan namun juga indah dalam makna contohny tari kretek, tari terbang papat, dan tari cendono – cendani.
Tradisi Dhandangan Tradisi itu bermula mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid Menara Kudus mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa. Pengumuman itu diawali dengan pemukulan beduk yang berbunyi dhang-dhang-dhang. Bunyi beduk itulah yang memunculkan kata dhandangan, sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradisi dhandangan

  1. Saran  
Demikianlah makalah ini kami ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah tasawuf, dengan demikian kritk dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin….


DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, cet.II (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1999)

makalah menejemen keuangan

                                I.            PENDAHULUAN
      Sebuah perusahaan baik manufaktur maupun perusahaan jasa pasti memiliki manajemen keuangan tersendiri dalam mencari informasi-informasi yang di gunakan untuk membuat keputusan.
      Setelah perusahaan tersebut mengalami kemajuan dan perkembangan serta kondisi keuangannya pun longgar pihak manajemen mengambil keputusan untuk melekukan investasi.
      Islam mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan aktivitas kerja. Kerja di lakukan untuk mengembangkan modal. Dengan demikian, islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk selalu melakukan investasi kekayaan (hartanya). Meskipun demikian dalam melakukan investasi harus memperhatikan kaidah hukum yang telah di tetapkan syari’ah.
      Investasi merupakan suatu planning dengan menambah suatu asset perusahaan yang keuntungannya belum dapat di rasakan dalam jangka pendek melainkan jangka panjang dan lebih spekulatif, yang artinya tingkat risiko dan return nya belum jelas masih dalam tahap kemungkinan, tingkat return dari suatu investasi dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat risikonya. Untukitu sebelum perusahaan atau investor melakukan investasi harus memperhatikan konsep-konsep yang di gunakan untuk mengukur tingkat return dan risiko atas suatu investasi.  

                             II.            RUMUSAN MAALAH
1.      Pengertian return
2.      Metode perhitungan return
3.      Pengertian risiko
4.      Metode penilaian risiko
5.      Hubungan return dan resiko

                           III.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian Return
             Return adalah  tingkat keuntungan. Misalkan kita membeli saham dengan harga Rp. 1000,00, kemudian satu tahun mendatang kita jual dengan harga Rp. 1200,00. Perusahaan membayar deviden sebesar Rp. 100,00 pada tahun tersebut. Berapa tingkat keuntungan atau return investasi kita tersebut?
            Tingkat keuntungan dihitung sebagai berikut[1]
            Return = (Rp. 1200,00 + Rp. 100,00 – Rp. 1000,00 x 100
                                                Rp. 1000,00


2.      Metode Perhitungan Return
Untuk menghitung return adalah sebagai berikut:
Return  = {[(Pt – Pt-1) + Dt] / Pt-1} x 100%
Dimana Pt  = harga atau nilai pada periode t
Pt-1 = harga atau nilai pada periode sebelumnya (t-1)
Dt  = deviden yang dibayarkan pada periode

v     Perhitungan tingkat keuntungan (return) yang di harapkan.
Misalkan ada dua aset A dan B. Misalkan kita memperkirakan beberapa skenario dimasa mendatang sebagai berikut ini, dengan probabilitas dan tingkat keuntungan (Return) yang terjadi. Return dihitung melalui cara pada bagian dibawah ini
Tabel perhitungan tingkat keuntungan yang diharapkan

Kondisi perekonomian

Probabilitas
Astra (A)
Niaga (B)
Sangat baik
Baik
Normal
Jelek
Sangat jelek
0,20
0,20
0,20
0,20
0,20
20%
10
7,5
5
2,5
2,5%
4
6
6.5
7
Tingkat keuntungna yang diharapkan

9%
5,2%
Ada dua hukum probabilitas:[2]

makalah tasawuf


TASAWUF PADA MASA BANI ABBASIYAH


MAKALAH


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tasawuf
Dosen pengampu : Prof. Dr. H. Abdul Hadi, MA



Disusun Oleh :

Nihayatus Shaumi         209130



 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH / EI
TAHUN 2011
BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Khalifah Abbasiyah ialah khalifah islam setelah khalifah Umayyah. Pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai pemerintahan masa revolusi islam karena keberhasilan dinasti Abbasiyah dalam memajukan peradaban islam. Masa Daulah Bani Abbasiyah disebut-sebut sebagai masa keemasan islam, atau dikenal dengan istilah ” The Golden Age”. Dikarenakan pada masa itu umat islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Dan juga berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah dengan banyaknya penerjemah buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Dengan mewarisi imperium besar bani Umayyah.
Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah. [1]

  1. RUMUSAN MASALAH
1.                                          Bagaimana Munculnya Dinasti Abbasiyah
2.                                          Bagaimana Sejarah Munculnya Tasawuf Pada Masa Bani Abbasiyah?









BAB II
PEMBAHASAN
  1. Munculnya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah  berkuasa selama kurang lebih enam abad ( 132 – 656 H/ 750-1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Bani Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M, Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.
Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah.
Dalam beberapa hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Daulah Umayah. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umayah, misalnya, para bangsawan Daulah Abbasiyah cenderung hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka gemar memelihara budak belian serta istri peliharaan (harem). Kehidupan lebih cenderung pada kehidupan duniawi ketimbang mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Namun tidak dapat disangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana maupun perebutan kekuasaan secara internal.[2]
Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti pada masa Daulah Umayah. Orientasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda lainnya antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah yang lebih mementingkan perluasan daerah. Akibat kebijakan yang diambil ini, provinsi-provinsi terpencil di pinggiran mulai terlepas dari genggaman mereka.
Ada dua kecenderungan yang terjadi. Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan yang berhasil menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayah di Andalusia (Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Marokko. Cara kedua, yaitu ketika orang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah manjadi sangat kuat, seperti Daulah Aglabiah (Bani Taglib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.
Pada zaman Al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian berlipat ganda dibanding sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke timur dan ke barat dipergiat. Kota Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang serba lengkap.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun Al-Rasyid. Masa itu berlangsung sampai dengan masa Al-Makmun. Al-Makmun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani.
Kecenderungan orang-orang muslim secara sukarela sebagai anggota milisi mengikuti perjalanan perang sudah tidak lagi terdengar. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang profesional. Militer Daulah Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Akibatnya, tentara itu menjadi sangat dominan sehingga Khalifah berikutnya sangat dipengaruhi atau menjadi boneka mereka.
Sebagai respon dari kenyataan tersebut Khalifah Al-Wasiq (842-847 M) mencoba melepaskan diri dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibukota ke Samarra, tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi tentara Turki.
Salah satu faktor penting yang merupakan penyebab Daulah Abbasiyah pada periode pertama ini berhasil mencapai masa keemasan ialah terjadinya asimilasi dalam Daulah Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur non Arab, terutama bangsa Persia, dalam pembinaan peradaban Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Makmun.
Pada masa itu perpustakaan-perpustakaan tampaknya lebih menyerupai sebuah universitas ketimbang sebuah taman bacaan. Orang-orang datang ke perpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai pusat penerjemahan. Tercatat kegiatan yang paling menonjol adalah terhadap buku-buku kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi dan ilmu alam. Di masa-masa berikutnya para ilmuwan Islam bahkan mampu mengembangkan dan melakukan inovasi dan penemuan sendiri. Di sinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban dunia.[3]
Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Di antara faktor-faktor intern adalah, pertama, adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki. Kedua, terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. Keempat, terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik.[4]
Dengan kematian Al-Muktasim khalifah terakhir pada masa bani abbasiya, lenyaplah Daulah Abbasiyah dari bumi ini, berkubur dalam bumi kota Baghdad yang telah hangus di bawah runtuhan gedung-gedung dan istana.

  1. Sejarah Munculnya Tasawuf Pada Masa Bani Abbasiyah
Abad X masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah dimana dunia islam, mulai dari Cordon di Spayol sampai ke Multan di Pakistan, mengalami pembangunan disegala bidang, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Salah satunya perkembangan ilmu pada masa Abbasiyah adalah ilmu tasawuf.[5]
Ilmu tasawuf adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada zaman abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta bersunyi diri untuk beribadah.
Secara umum tasawwuf dipandang sebagai falsafah kehidupan. Ia juga merupakan cara yang meyakinkan dalam menjalani usaha-usaha penyempurnaan akhlak, ketundukan dan untuk mendapatkan kebahagiaan jiwa.
Pada masa Abbasiyah telah hadir Dzu al-Nun Al-Mishri,[6] ia dilahirkan di Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku ahli hadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan dengan duniawi, sebuah kritikan yang membuat para Ahlu al-Hadist kebakaran jenggot dan mulai menyebut al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu al-hadist membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan dikenal dalam lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya, al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luas oleh para peneliti tasawuf. Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang sufi. Ia meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir. Setelah Al-Misri, datang seorang sufi bernama Surri al-Saqathi pada 253 H, ia mengenalkan uzlah-uzlah yang sebelumnya hanya dikenal sebagai tindakan menyendiri secara personal, dikembangkan al-Saqathi menjadi “uzlah kolektif”, uzlah yang ditujukan untuk menghindari kehidupan duniawi yang melenakan ataupun kehidupan duniawi yang penuh degan pertentangan, intrik dan pertumpahan darah. Pada masa-masa diatas telah mulai dikenal istilah sufi di beberapa kalangan, sebuah sebutan bagi mereka yang menghindari secara ketat terhadap kesenangan duniawi dan memilih untuk memfokuskan diri pada perkara uhkrawi (kelak konsep uzlah inilah yang banyak dianut oleh tasawuf sunni dikemudian hari).
Abu Yazid al-Bustami pada 260 H/873 M,[7] seorang sufi Persia yang mulai mengenalkan konsep ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan, penyatuan tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’ dalam dicinta, bersatu dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. wajar jika al-Bistami dianggap oleh Nicholson sebagai pendiri tasawuf dengan ide orisinil tentang wahdatul wujud di timur sebagaimana theosofi yang meruapakan kekhasan pemikiran Yunani. Pengaruh Abu Yazid saat itu sangat luas bukan hanya di dunia muslim tapi menembus hingga batas-batas agama. Tapi tentu ungkapan-ungkapan al-Bistami telah menghadirkan pertentangan dengan Ulama’ Hadis, mereka mengcam pandangan-pandangan pantheisme al-Bistami yang di anggap sesat. Pasca Al-Bishtami, Al- Junaidi pada 297 H/909 M hadir dengan coba mengkompromikan tasawuf dengan syariat, hal ini ia lakukan setelah melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlu al-hadis di masanya, lagi pula al-Junaid juga mempunyai basik sebagai seorang ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaum yang sesat. Dan rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandang kalangan ortodoksi terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277 H) yang juga menelurkan karya – karya kompromistik antara ortodoksi islam dan tasawuf.







BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Khalifah Abbasiyah ialah khalifah Islam setelah khalifah Umayyah.
Dinasti Abbasiyah  berkuasa selama kurang lebih enam abad ( 132 – 656 H/ 750-1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti pada masa Daulah Umayah.
Abad X masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah dimana dunia islam, mengalami pembangunan disegala bidang, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Salah satunya perkembangan ilmu pada masa Abbasiyah adalah ilmu tasawuf
Ilmu tasawuf adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada zaman abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta bersunyi diri untuk beribadah.
Secara umum tasawwuf dipandang sebagai falsafah kehidupan. Ia juga merupakan cara yang meyakinkan dalam menjalani usaha-usaha penyempurnaan akhlak, ketundukan dan untuk mendapatkan kebahagiaan jiwa.

  1. Saran
            Demikianlah makalah ini kami ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah tasawuf, dengan demikian kritk dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin….
DAFTAR PUSTAKA
Abu Su’ud, Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003
Musyrifah Sunanto, sejarah islam klasik, Jakarta: kencana, 1991
Misbah, Ma’ruf dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang, CV. Wicaksana, 1996.


[1]              Abu Su’ud, Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003, h. 72
[2]               Abu Su’ud, op.cit.,  h. 73
[3]              Ibid, h. 75-78
[4]              Ma’ruf Misbah dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang: CV.    Wicaksana, h. 61
[5]               Musyrifah Sunanto, sejarah islam klasik, Jakarta: kencana, 1991. hal 54
[6]               Abu Su’ud,  h. 75-78
[7]               http: //blogspot.com/2010/01/dinasti abbasiyah.htm