Minggu, 22 Mei 2011

makalah metodologi studi islam

BAB 1
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
“Desa mawa cara, Negara mawa tata”, demikianlah kutipan Kuntowijoyo ketika mencoba mengilustrasikan dualisme kebudayaan Indonesia di masa lalu.[1] Selalu saja ada dua subsistem dalam menterjemahkan tradisi lokal yang melekat dalam masyarakat, yaitu budaya rakyat dan budaya penguasa (kraton). Wariasn budaya Sunan Kudus berikut akan lebih berspektif budaya rakyat dan dan masih dilestarikan oleh masyarakat Kudus hingga sekarang, meskipun sering terjadi tarik – menarik dan pantang – menantang diantara keduanya. Karena itu tradisi yang berakar dari Sunan Kudus ternyata dalam perkembangannya mengalami reproduksi dan resistensi baik dalam bentuk adat, seni, maupun budayanya. Darinya kita juga bisa menemukan nilai – nilai moral yang bisa dijadikan sebagai penopang dalam membangun karakter bangsa.   

  1. Rumusan Masalah
1.      Biografi Kota Kudus
2.      Tradisi Buka Luwur
3.      Tradisi Tidak Menyembelih Sapi
4.      Tradisi Perkabungan
5.      Tradisi Tari – Tarian
6.      Tradisi Dhandangan









BAB II
PEMBAHASAN
  1. Biogarafi kota kudus
Secara geografis kota Kudus terletak di pantai utara timur Jawa Tengah diantara Semarang dan Surabaya. Kudus terbagi atas lima wilayah yaitu Kudus utara, selatan, timur, barat dan pusat. Sebagian beasar wilayah Kudus adalah daratan rendahdan di wilayah utaranya terdapat pegunungan.kota yang berulang tahun setiap tanggal 23 september ini terkenal sebagai kota wali. Hal ini karena sejarah kota Kudus terkait dengan dua tokoh wali Islam di Indonesia yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria yang dulunya menyebarkan Islam di kota Kudus.
Menurut sejarahnya, asal – usul nama Kudus diambil dari pengalaman seorang ulama’ besar yaitu Dja’far Sodiq, yang pernah beribadah Haji sambil mengajar di tanah Arab. Ceritanya, ketika Dja'far Sodiq sedang mengajar di Arab terjadilah sebuah wabah penyakit yang berbahaya. Wabah tersebut kemudian dapat diredakan oleh Dja'far Sodiq. Berkat jasanya ini Dja'far diberi  hadiah batu yang berasal dari Kota Baitul Makdis atau Al-Quds. Batu itu kemudian dibawa pulang dan kota tempat Dja'far Sodiq tinggal dinamakan Kudus. Dja'far kemudian terkenal dengan nama Sunan Kudus.[2]
Selain terkenal sebagai kota Wali, Kudus juga disebut-sebut sebagai kota Santri. Ini berkaitan dengan Kudus yang menjadi pusat penyebaran Islam di Indonesia pada abad ke pertengahan. Tentu saja penyebaran agama islam ini dilakukan oleh dua dari sembilan Wali Nusantara yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria. Sunan Kudus terkenal sebagai salah seorang ulama besar yang menyebarkan Islam di Kudus. Beliau terutama ahli dalam ilmu Tauhid, Usul, Hadits, Sastra Mantiq, dan Ilmu Fiqih. Sedangkan Sunan Muria terkenal lebih suka mendidik rakyat jelata, para pedagang, nelayan, dan pelaut. Beliau juga memasukan ajaran-ajaran Islam kedalam pertunjukan seni gamelan Jawa. Kota Kudus juga memiliki beragam potensi pariwisata. Salah satunya panorama alam yang menawan, ada juga Masjid Kudus yang juga menjadi objek wisata potensial. Masjid ini dibangun pada abad ke 16 dengan gaya arsitektur campuran Jawa dan Hindu. Mulanya masjid ini diberi nama Masjid Al-Aqsa oleh Sunan Kudus. Menurut cerita sepulang Sunan Kudus berkunjung ke Masjid Al-Aqsa di Palestina, beliau membawa batu yang kemudian dijadikan batu pertama pada pendirian Masjid. Namun dalam perkembangannya, Masjid Al-Aqsa di Kudus lebih terkenal dengan nama Masjid Kudus.
 Gaya arsitektur Masjid Kudus sangat unik karena merupakan perpaduan antara budaya Jawa dan Hindu. Pada Masjid Kudus terdapat bangunan monumental berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit dan makam dari Sunan Kudus. Selain karena ukurannya sangat besar, keunikan arsitekturnya membuatnya sangat spesial dan tidak dimiliki oleh masjid manapun di dunia. Masjid Kudus berada di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Jaraknya hanya 1,5 km dari pusat kota.

  1. Tradisi Buka Luwur
Buka luwur adalah bahasa jawa yang berarti buka adalah membuka, sementara luwur adalah kain klambu pembungkus makam Kanjeng Sunan Kudus. Tradisi buka luwur memang tak lepas dari sebuah ritual prosesi pergantian selambu pembungkus makam Kanjeng Sunan Kudus yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram atau syuro.
Subtansi tradisi buka luwur adalah houl, peringatan wafatnya seorang ulama’ atau wali tertentu. Namun wafatnya Sunan Kudus tidak bisa  ketahui secara pasti, maka tradisi tersebut disebut tardisi buka luwur. Agenda utamanya adalah penggantian klambu makam Sunan Kudus, sedangkan prosesinya sebagaimana ritual houl, yang diawali dengan khataman Al – Qur’an, pengajian umum, pembacaan tahlil dan do’a serta diakhiri dengan bancaan.[3] Masyarakat datang berbondong-bondong dengan berbagai maksud dan tujuan. Ada yang ingin mendapatkan sobekan kain untuk jimat atau ada pula yang mengharap mendapatkan sebungkus nasi dimana nantinya nasi tersebut dikeringkan, kemudian ditaburkan dipersawahan agar tanamannya menjadi subur, tahan hama wereng dan sebagainya



  1. Tradisi tidak Menyembelih Sapi
Tidak diperbolehkannya masyarakat Kudus untuk menyembelih sapi. Merupakan larangan ini mengandung arti rasa saling menghormati sesama orang yang beragama, dalam hal ini agama Hindu, dimana pada waktu sebelum Islam datang telah dipeluk oleh masyarakat Kudus. Sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama hindu. Pernah pada suatu ketika Sunan Kudus mengikat seekor sapi dihalaman masjid dengan maksud untuk menarik perhatian para pemeluk agama hindu supaya mereka itu datang ke masjid. Setelah orang-orang itu berkumpul, maka Sunan Kudus mengucapkan salam bahagia dan selamat datang untuk kemudian berceramah, berdakwah dan saling berdialog secara langsung. Sebenarnya yang penting dari hal ini adalah rasa saling menghormati, tidak menyinggung perasaan dan kepercayaan hidup orang lain. Meskipun begitu jika diantara masyarakat Kudus ada yang menghendaki menyembelih sapi, itu tidak apa-apa, tidak dilarang, tidak berdosa dan tidak membahayakan bagi pelakunya.
  1. Tradisi Perkabungan
Bentuk tradisi yang masih kental hingga sekarang adalah tradisi perkabungan (nyedekahi) pada hari ke-3, 7, 40, 100 dan 1000. Hal ini bermula dari kebiasaan masyarakat Hindu, dimana jika ada kematian selalu diadakan sesajen, membakar kemenyan serta dibacakan mantra-mantra. Tradisi semacam ini tidak dilenyapkan begitu saja, tetapi tetap dibiarkan dan dimasuki unsur-unsur keIslaman. Makanan yang sebetulnya untuk sesajen dibawa pulang (jawa : diberkat) oleh orang-orang yang hadir. Sedangkan mantra-mantra yang dibaca diganti dengan membaca tahlil oleh segenap yang hadir. Tradisi perkabungan dengan sesajen-sesajen itu dapat disesuaikan dengan ajaran shodaqoh dalam ajaran Islam. Hanya saja niatnya yang harus dirubah.
  1. Tradisi Tari – Tarian
Kudus memiliki beragam tarian tradisional yang tidak hanya indah dalam gerakan namun juga indah dalam makna. Contohnya saja tari Kretek. Tari yang menggambarkan pembuatan kretek tradisional ini sarat akan nilai filosofis. Para penarinya mengenakan kebaya anggun dengan selendang bergaris hitam dan topi lebar yang artinya kesejahteraan warga kudus. Ada juga Tari Terbang Papat yaitu tari yang melambangkan kebahagiaan muda mudi, dan Tari Cendono Cendani yang berkisah tentang asmara si kembar Cendono dan Cendani.

  1. Tradisi Dhandangan
1.      Asal - usul Tradisi Dhandangan
Setiap kali menjelang bulan Rahmadhan, umat Islam di Kudus dan sekitarnya menyambut suka dan cita. Maka momentum kehadiran bulan Rahmadhan menjadi sesuatu yang istimewa. Bahkan penanda masuknya bulan Rahmadhan ini menjadi tradisi penting bagi umat Islam di Kudus yang kehadirannya tak lepas dari Sunan Kudus. Tradisi tersebut popular dimasyarakat dikenal dengan Dhandangan, sedangkan penyetusnya adalah Kanjeng Sunan Kudus.[4]
Tradisi itu bermula mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid Menara Kudus mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa. Pengumuman itu diawali dengan pemukulan beduk yang berbunyi dhang-dhang-dhang. Bunyi beduk itulah yang memunculkan kata dhandangan, sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradisi dhandangan.
2.      Gus – Ji – Gang dalam Tradisi Dhandangan
Salah satu  fenomena budaya bagi masyarakat Kudus Kulon dalam tradisi dhandangan terutama pada puluhan tahun yang lalu adalah menjadikan momentum ini sebagai ajang silaturrahmi antar sanak saudara. Bahkan tak jarang momentum ini menjadi media ta’aruf agar orang tua t\yang memiliki anak putrisegera menemukan jodohnya, pemuda ideal.
Bagi masyarakat Kudus terutama di lingkungan Kudus Kulon harus memiliki minimal tiga karakter yang popular dalam akronim “Gus-Ji-Gang” (bagus akhlaknya, pinter ngaji, dan trampil berdagang).
Pertama, “Gus” bermakna bagus atau cakep.kecakepan ini tak sekedar secara fisik tetapi juga cakep secara kepribadiannya. Aspek moral sangat di tonjolkan oleh masyarakat Kudus. Dalam kaitan ini biasanya dengan memperhatikan nasab, pendidikan, dan pergaulannya.
Kedua, “Ji” pintar mengaji atau lebih popular dengan sebutan santri.hal ini jadi prioritas penting karena karakter santri ini sebagai dasar bagi calon pemimpin rumah tangga yang berorientasi ketaatan pada syari’at Islam. Dalam posisi inilah santri yang pinter mengaji menjadi incaran para gadis atau orang tua yang memiliki anak gadis yang siap dinikahkan.
Ketiga, “Gang” lincah berdagang. Belum lengkap rasanya menjadi warga Kudus terutama Kudus Kulon, kalau tidak mampu berdagang. Kemampuan berdagang ini ditinjolakan karena tak lepas dari pilihan mata pencaharian yang lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang. Karena spirit dasarnya didasari dengan nilai – nilai Islam maka profesi dagang yang diinginkan adalah pedagang yang jujur, sebagaimana Sunan Kudus dan Nabi Muhammad SAW juga seorang wali saudagar.   
3.      Pergeseran Tradisi Dhandangan
Namun sesuai dengan perkembangan zaman, tradisi dhandangan sekarang ini tak lagi sekedar untuk mendengarkan pengumuman awal rahmadhan oleh sesepuh masjid yang dihadiri banyak santri diseputar Masjid Menara Kudus. Namun mulai “disusupi” pedagang yang menawarkan berbagai kebutuhan bahan pokok sehari – hari. Kondisi tersebut berlanjut hingga kini. Bahkan pedagang sudah bersiap sejak beberapa hari sebelum awal puasa. Suasana semakin ramai oleh munculnya aneka permainan anak – anak dan banyaknya pedagang sandang dan pangan dari berbagai kota. Bahkan, kini tradisi dhandangan cenderung sekedar menjadi ajang bisnis dan promosi sehingga mengurangi nilai – nilai budaya yang sebelumnya sangat kental.











BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Secara geografis kota Kudus terletak di pantai utara timur Jawa Tengah diantara Semarang dan Surabaya. Kudus terbagi atas lima wilayah yaitu Kudus utara, selatan, timur, barat dan pusat. Ada beberapa tradisi di Kudus antara lain:
Tradisi Buka Luwur adalah bahasa jawa yang berarti buka adalah membuka, sementara luwur adalah kain klambu pembungkus makam Kanjeng Sunan Kudus.
Tradisi Tidak Menyembelih Sapi Merupakan larangan ini mengandung arti rasa saling menghormati sesama orang yang beragama, dalam hal ini agama Hindu, dimana pada waktu sebelum Islam datang telah dipeluk oleh masyarakat Kudus
Tradisi Perkabungan dimana jika ada kematian selalu diadakan sesajen, membakar kemenyan serta dibacakan mantra-mantra. Tradisi semacam ini tidak dilenyapkan begitu saja, tetapi tetap dibiarkan dan dimasuki unsur-unsur keIslaman.
Tradisi Tari – Tarian Kudus memiliki beragam tarian tradisional yang tidak hanya indah dalam gerakan namun juga indah dalam makna contohny tari kretek, tari terbang papat, dan tari cendono – cendani.
Tradisi Dhandangan Tradisi itu bermula mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid Menara Kudus mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa. Pengumuman itu diawali dengan pemukulan beduk yang berbunyi dhang-dhang-dhang. Bunyi beduk itulah yang memunculkan kata dhandangan, sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradisi dhandangan

  1. Saran  
Demikianlah makalah ini kami ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah tasawuf, dengan demikian kritk dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin….


DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, cet.II (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar